Judul dalam bahasa Kulisusu: Waode Ginunduri
Diceritakan oleh: Wa Ode Samiyra
Tanggal: tahun 1978
Wa Ode Ginunduri adalah putri seorang kepala negeri. Pada suatu waktu ayahnya akan bepergian dan waktu itu istrinya sedang hamil. Yang dihamilkan itu kebetulan sudah Wa Ode Ginunduri.
Pada waktu ayahnya bepergian ia berpesan, apabila kelak anaknya lahir laki-laki hidupilah dia, dan kalau ia perempuan bunuhlah ia.
Di saat ia dilahirkan kebetulan adalah anak perempuan. Ibunya dan seluruh orang di negeri itu jadi gelisah dan pusing karena anak itu akan dibunuh, sedang mereka sangat sayang dan tak sampai hati untuk membunuh anak perempuan itu. Akhirnya bermusyawarah hendak mengasingkan anak perempuan itu di pegunungan.
Tatkala anak perempuan itu sudah agak besar dibawalah ia di sebuah gunung yang disebut gunung Wansindori-dori yang terletak di sebelah tujuh bukit dan tujuh lembah. Di tengah perjalanan Wa Ode Ginunduri menemukan tujuh biji kapas lalu dipungutnya untuk dibawa di tempat pembuangannya. Setelah tiba di tempat itu, seluruh orang yang mengantarnya kembali dan anak perempuan itu ditinggalkannya di gunung itu.
Selama ia tinggal di gunung itu ia mengerjakan kapas yang dipungutnya tadi untuk ditanam lalu ditenunnya dan dibuatnya menjadi kain, bakal dijadikan pakaian ayahnya bepergian tadi. Pakaian yang dibuatnya itu lengkap semuanya. Ada sarung, celana, baju, serban, selendang, ikat pinggang dan lain-lain. Pokoknya komplit semuanya. Itulah pekerjaan Wa Ode Ginunduri selam ia tinggal di gunung Wansindori-dori.
Setelah beberapa lama kemudian, diperkirakan ayahnya akan tiba seluruh syara dan orang di kampung itu mermusyawarah dan mufakat untuk menyembelih seekor kambing dan dikuburkan sebagai pengganti anak perempuan yang telah disembunyikan tadi. Darah kambing itu diambil untuk diperlihatkan pada ayahnya sebagai bukti bahwa anak perempuan yang lahir itu benar-benar dibunuh.
Kemudian diadakan pengajian dan peringatan wafatnya. Sementara mereka sedang asyik meramaikan pengajian dan peringatan wafatnya tiba-tiba datanglah ayahnya. Ayahnya tentu sudah tahu bahwa penyelenggaraan keramaian dan pengajian itu adalah peringatan wafatnya anak perempuan yang telah dibunuh itu. Namun demikian ayahnya belum yakin benar anaknya yang lahir itu sudah dibunuh, sekalipun ia telah melihat darah dan kuburan anaknya itu, karena diketahuinya bahwa darah itu bukan darah manusia pada biasanya. Ayahnya dalam hal ini jadi sangsi terhadapnya.
Akhirnya mengadakan undian hendak menguji kebenaran dengan memberi makan semua burung yang ada di situ. Tetapi ada seekor burung terlupa tak diberi makan, dan iri hati terhadap mereka. Burung itu namanya burung Bubu. Di saat sementara asyik-asyiknya mengaji tiba-tiba burung itu berbunyi dan berkata, “Bubu, wahai kepala negeri, anakmu berada di puncak gunung Wansindori-dori.” Mendengarkan suara burung itu kepala negeri tersebut memberhentikan orang yang sedang mengaji, dan memperhatikan kembali suara burung tadi. Burung itu berkata lagi, “Bubu, wahai kepala negeri, anakmu berada di puncak gunung Wansindori-dori.” Mendengar perkataan burung itu, ayahnya itu sudah yakin benar bahwa anak perempuan yang lahir tersebut tidak dibunuh tetapi disembunyikan di gunung Wansindori-dori. Kepala negeri (ayah perempuan yang lahir tadi) kembali marah dan berkata, “Kamu sekalian ini telah menipu saya.”
Kemudian ia memerintahkan para syara dan seluruh orang yang ada di negeri itu untuk segera pergi memanggil anak perempuan itu, yang telah disembunyikan di gunung Wansindori-dori tadi. Pergilah mereka memanggil anak perempuan itu.
Ibunya mulai saat itu susah hatinya dan jatuh sakit karena memikirkan anaknya sudah akan dibunuh oleh ayahnya. Dalam pada itu ibunya sudah tak dapat bangun terbaring terus di lantai.
Sesampainya mereka di sana, mereka berkata kepada anak perempuan itu, “Kata ayahmu, kembalilah engkau, engkau bukanlah kembali untuk hidup tetapi engkau kembali menemui mati.” Kemudian anak perempuan itu menjawab perkataan mereka. “Wahai para syara, kembalilah kamu sekalian dan berilah khabar pada ayahku, nanti selesai pekerjaan baru saya kembali.”
Kembalilah mereka dan menyampaikan pada ayahnya bahwa ia mengatakan nanti selesai pekerjaannya baru ia datang. Pekerjaan menjadi pakaian jadi ayahnya yang siap dipakai.
Ayah memerintahkan lagi para syara, “Pergilah panggil kembali Wa Ode Ginunduri agar ia kembali dengan segera, tak usah ia membuat apa-apa, dia kembali saja. Ia kembali di sini bukanlah ia kembali untuk hidup tetapi ia kembali untuk mati. katakanlah kepadanya saya sudah lama menunggu.”
Begitu setiap ia didatangi ia selalu memberi alasan dengan setiap tahap dari proses pembuatan pakaian, sejak dari kapas sampai menjadi pakaian. Demikian seerusnya orang-orang yang datang memanggilnya pulang pergi berkali-kali.
Pada saat panggilan pertama Wa Ode Ginunduri beralasan dengan Moligisi (memisahkan), panggilan kedua beralasan dengan Mobosiki (menghaluskan), panggilan ketiga beralasan dengan Moningko (semacam memintal), panggilan keempat beralasan dengan Mo'uluri (merentang), panggilan kelima beralasan dengan Monsuawi (menyisir), panggilan keenam beralasan dengan Mohoru (menenun), panggilan ketujuh beralasan dengan Modie (emnggunting), panggilan kedelapan beralasan dengan Monseu (menjahit).
Sesudah selesai menjahit pakaian untuk ayahnya itu didatangi lagi agar ia kembali. Pada saat ini ia beralasan lagi mula-mula ia akan mandi dahulu, kemudian berhias dan terakhir berpakaian.
Demikianlah para syara tersebut pulang pergi terus menyampaikan pada ayahnya dengan keterangan sesuai alasan yang dikemukakannya. Setelah ia selesai berhias dan berpakaian, dan semua perlengkapannya sudah rampung, diambilnyalah bambu yang panjangnya seruas sebagai tempat pakaian ayahnya yang telah dibuatnya selama ia tinggal di pegunungan Wansindori-dori tersebut, dan selanjutnya berangkatlah mereka ke rumah ayahnya yang telah lama menantinya. Dalam pada itu ibu Wa Ode Ginundrui terus saja berbaring di atas lantai dan badanya sudah semakin kurus karena memikirkan anaknya yang dibuang tadi sudah akan dibunuh oleh ayahnya.
Selama di perjalanan Wa Ode Ginunduri dan orang-orang yang membawanya kembali ke rumah ayahnya terjadi percakapan tentang hal ihwalnya selama ia tinggal di pegunungan tersebut. Yang menyebabkan orang-orang tersebut menjadi sedih mendengarnya.
Tidak lama kemudian tidahlah anak perempuan itu di rumah ayahnya. Ayah yang telah lama menunggu menyambutnya dengan segera dan menyuruhnya, “Naiklah engkau di rumah, saya sudah lama sekali menunggumu. Engkau sekarang sudah pasti akan mati.”
Di saat anak itu akan naik ke rumah ayahnya, dilihatnya tangga tempat ia akan naik, anak tangganya terdiri atas besi yang amat tajam, yang tentu saja bila diinjaknya akan terpotong kakinya. Berkatalah Wa Ode Ginunduri tersebut, “Wahai ayahku dan ibuku, dengan apakah aya berpijak untuk naik?” Ayahnya menjawab, “Dengan kakimu, engkau kan menpunyai kaki.” Naiklah Wa Ode Ginunduri dengan berpijakan kakinya, dan pada saat itu ia naik dengan kakinya itu terpotonglah kakinya, karena anak tangganya tersangat tajam.
Bertanyalah lagi anak perempuan itu, “Dengan apa lagikah saya akan berpijak?” Ayahnya menjawab, “Dengan betismu.” Naiklah lagi anak perempuan itu dan terpotonglah pulalah betisnya.
Begitu seterusnya, sesudah betisnya terpotong ia berpijakan pahanya, terpotong pahanya berpijakan perutnya, sesudah perutnya terpotong ia berpijakan badanya, dan setelah itu tinggal anggota tangan dan lehernya.
Akhirnya berkatalah ia pada ayahnya, “Dengan apa lagikah saya akan naik?” Ayahnya menjawab, “Dengan lehermu.” Kemudian anak itu berkata pada ayahnya, “Wahai, ayahku, bentangkanlah tikar di muka pintu.” Lalu ayahnya menbentangkan tikar.
Sesudah itu di saat ia akan mulai naik tangga dengan lehernya sebatang bambu yang dipegangnya tadi yang berisikan pakaian ayahnya dilemparkannya ke rumah kehadapan ayahnya. Kemudian naiklah ia dengan berpijakan lehernya dan terpotonglah anak perempuan itu seluruhnya dan meninggallah ia. Bangkai anak perempuan yang terpotong-potong itu tertimbun di bawah tangga.
Bambu yang dilemparkan tadi diambil oleh ayahnya, dan setelah dibukanya ternyata berisikan pakaian yang sangat antik sebagai hasil usaha anak perempuan yang telah meninggal tadi selama ia berada di puncak gunung Wansidori-dori. Kemudian pakaian itu dibuka oleh ayahnya dan dipakainya dan kebetulan semuanya cocok untuknya, seolah-olah telah diukunya sesuai badan ayahnya.
Setelah ayahnya memaki pakaian itu semuanya dan cocok di badannya, barulah ia sadar insaf dan mulai menyesali perbuatanannya yang kejam itu. Ia mulai tahu bahwa sesungguhnya anak perempuan yang tidak berguna seperti anak laki-laki, ternyata anak perempuan pun sesungguhnya mempunyai kegunaan pula dalam kehidupan ini, karena ternyata anak perempuan dapat membuat pakaian yang sangat diperlukan oleh seseorang. Setelah menyadari semua itu ayahnya pun jatuh sakit pula.
Dalam pada itu datanglah seorang nenek yang sudah tua bangka hendak mengambil api di rumah anak perempuan yang telah meninggal tadi. Tapi saat itu dilihatnya ada bangkai manusia di bawah tangga yag telah terpotong-potong. Kemudian dibawanya ke rumahnya dan disimpannya di dalam peti. Pada setiap malam Senin dan Jum’at bangkai itu diperiksanya dan diberinya kemenyan selama tujuh minggu, yaitu setiap pada malam Senin dan Jum’at itu. Pada malam Jum’at terakhir dibukanyalah peti itu dan ternyata bangkai yang terpotong-potong tadi telah bersambung kembali sebagaimana biasanya dan hiduplah kembali anak perempuan itu (Wa Ode Ginunduri).
Di saat peti sudah terbuka anak itu bangun lalu berkata pada nenek itu, “Alangkah lamanya saya tidur, nenek.” Nenek itu berkata pula, “Ya, memang engkau sekali tidurmu. Engkau itu sesungguhnya telah mati, badanmu sudah terpotong habis. Kulihat engkau di saat saya pergi mencari sisa-sisa makanan yang dibuang dan mengambil api di rumahnya kepala negeri itu, engkau berada di bawah tangga, lalu saya memungutmu dan kubawa ke rumahku.”
Kemudian setelah ia bangun anak itu berkata, “Hai nenek, saya lapar, saya ingin makan.” Nenek menjawab, “Wahai anakku; apakah yang engkau bisa makan, di sini tidak ada makanan. Saya ini adalah nenek yang miskin. Saya ini baru bisa makan, kalau saya pergi di rumah kepala negeri, ayahmu, memungut sisa-sisa makanan yang mereka buang. Itu pun bila saya berhasil berebutan dengan kambing. Kalau seandainya saya yang unggul maka kambing tak memperoleh makanan, dan kalau saya kalah dan kambing yang unggul maka sayalah yang tak dapat makan. Namun demikian, wahai anakku bersabarlah, saya akan pergi mencarikan engkau makanan, mudah-mudahan saya bisa memperoleh.”
Pada saat neneknya kembali ia hanya memperoleh sebutir telur. Telur itu diberikannya pada anak perempuan itu, lalu digenggamnya telur itu. Kemudian anak itu meniatkan segala apa saja yang diinginkannya kepada yang gaib Tuhan Yang Maha Esa. Musa-mula ia meniatkan makanan maka muncullah aneka ragam makanan yang lezat, kemudian meniatkan rumah serta perelengkapannya maka datanglah rumah lengkap dengan segala isinya yang mewah-mewah.
Pendeknya apa saja yang dimintanya cukup ia menggenggam telur itu dan berniat. Akhirnya berkat anak perempuan itu maka tinggallah mereka bersama neneknya di rumah yang mewah, penuh dengan kesenangan dan kekayaan yang bagus sekali.
Cerita ini dapat diambil dalam bentuk pdf yang ditulis dalam tiga bahasa.
BACA
CERITA
LAINNYA