Judul dalam bahasa Kulisusu: Laode Panuinta te Waode Sirinakamba
Diceritakan oleh: Wa Ode Samiyra
Tanggal: tahun 1978
La Ode Panuinta dan Wa Ode Sirinakamba adalah anak yatim yang berayah tiri. La Ode Panuinta adalah kakak dan Wa Ode Sirinakamba adalah adik. Ibu mereka masih hidup dan sangat sayang kepada mereka.
Pada suatu hari ayah tiri mereka pergi memancing ikan di laut. Ayah mereka sifatnya sangat sekakar. Di saat ia kembali memancing, ikannya disimpannya di atas bumbungan rumah, dan ia tidak memberi sedikitpun pada anak tiri mereka.
Di saat lain anak-anak tersebut akan makan dan tidak punya ikan dan kebetulan mereka melihat ikan itu di atas bumbungan, lalu mereka mengambilnya tanpa sepengetahuan ayah tiri mereka, dan memakannya. Setelah ayah tiri mereka kembali, dilihatnya ikan yang disimpannya tersebut sudah berkurang. Kemudian ia bertanya kepada mereka, “Siapakah yang mengambil ikan yang saya simpan di atas bumbungan itu?” Anak-anak itu menjawab bahwa mereka tidak mengambilnya. Tetapi pada akhirnya ayah tiri mereka dapat mengetahui bahwa merekalah yang mengambilnya, lalu marah kepada mereka, dan ia berniat hendak membuang mereka itu di hutan.
Kemudian pada suatu hari dibawanyalah kedua anak itu ke hutan untuk pergi mencari buah jambu hutan (buah malaka). Mereka melewati tujuh buah bukit dan tujuh buah lembah. Di sanalah mereka mencari buah malaka. Setelah mereka itu tiba pada suatu hutan yang telah dituju itu mereka terus mencari buah malaka. Disuruhnyalah anak-anak itu mencari buah malaka lalu ia berkata kepada anak-anak itu, “Tinggallah kamu di sini mencari buah malaka, saya akan pergi dulu di sana mencari kayu untuk tiang perahu.” Padahal ternyata ayah tiri mereka mengakali mereka, ia terus menghilang pulang ke rumahnya.
Anak tersebut sangat gembira melihat buah malaka di tempat itu sangat banyak. Beberapa saat kemudian anak-anak itu telah berhasil memetik buah malaka yang banyak. Lalu mereka turun dari pohon buah malaka kemudian mereka memanggil ayah tiri mereka. Anak-anak itu berteriak-teriak memanggilnya, tetapi apa daya, ayah mereka telah pulang ke rumah, ia sedikitpun tidak menyahuti panggilan anak-anak itu. Setelah anak-anak itu mengetahui bahwa ayah tiri mereka tidak ada lagi di tempat itu mereka pun sakit hati dan menangis karena mereka ketakutan di hutan itu.
Tatkala mereka sedang menangis tiba-tiba La Ode Panuinta berkata kepada adiknya, “Janganlah kita menangis karena kalau kita menangis terus akhirnya kita tidak bisa berpikir bagaimana cara supaya kita bisa selamat.” Mendengarkan nasehat kakaknya itu, kemudian Wa Ode Sirinakamba berhenti menangis.
Di kala malam telah tiba kedua anak tersebut gelisah di manakah mereka akan pergi tidur. Akhirnya mereka memutuskan akan tidur di atas pohon buah malaka yang besar di hutan itu, agar suapaya mereka terhindar dari ancaman binatang buas. Memanjatlah kedua anak itu ke atas pohon buah malaka dan buah malaka yang mereka telah petik dibuangnya ke tanah. Setelah mereka sampai di atas pohon buah malaka itu, kedua anak itu menggantungkan sarung mereka di cabangnya sebagai tempat tidur mereka.
Sementara mereka sedang tidur tiba-tiba datanglah sekelompok babi hutan di bawah pohon buah malaka di mana kedua anak itu tidur. Babi-babi itu berjumlah tujuh ekor, semuanya babi-babi itu memakan buah malaka yang telah dibuang oleh anak-anak itu. Tetapi di kala babi itu sedang asyiknya memakan buah malaka tiba-tiba babi-babi itu menengok ke atas dan mereka melihat dua orang anak kecil yang sedang tidur.
Kemudian babi-babi itu melompati anak-anak itu dan hampir saja dapat mencapai mereka. Kedua anak-anak itu berteriak-teriak karena ketakutan babi-babi itu akan memakan mereka. Babi-babi itu terus saja melompati kedua anak itu, sampai pun anak-anak itu semakin takut dan yang adik menangis keras.
Sementara anak-anak itu dalam keadaan gawat, tiba-tiba mereka teringat bahwa mereka ada membawa tujuh biji jarum yang diberikan oleh ibu mereka pada waktu mereka berangkat. Anak-anak itu mulai berpikir, untuk apakah sebenarnya kegunaan jarum yang mereka bawa tersebut. Anak-anak itu berpendapat, mungkin jarum ini untuk senjata kita melawan serangan dari binatang buas.
Anak-anak itu mulai mencari akal, bagaimana caranya membunuh babi-babi itu, dan jalan yang mereka tempuh adalah dengan jalan menancapkan jarum itu ke dalam buah malaka, dan dijatuhkan ke tanah sehingga apabila babi-babi itu memakannya akan mati karenanya. Maka diambilnya jarum itu lalu ditancapkan ke dalam buah malaka dan dijatuhkan ke tanah.
Begitu sampai ke tanah buah malaka terus disambar dengan cepatnya lalu dimakannya oleh babi yang berhasil merebutnya, babi itu merasakan mulutnya tertusuk-tusuk oleh mata jarum yang tertancap dalam buah malaka itu. Kemudian babi itu lari dan akhirnya babi itu mati karenanya. Begitu seterusnya dengan tujuh mata jarum tadi, ketujuh babi itu dapat terbunuh dan kedua anak itu dapat selamat dari ancaman babi-babi itu.
Setelah babi-babi itu terbunuh, kedua anak itu turun meninggalkan tempat itu. Berjalanla mereka menyelusuri hutan yang lebat. Berjalan mereka semakin jauh dari tempat itu, maka tidak lama kemudian mereka menemukan sebuah kampung yang ternyata di kampung itu hanya sebuah saja rumahnya. Rumah itu adalah rumah batu milik seorang raksasa. Di dalam rumah itu mereka melihat banyak barang-barang yang mewah. Ada senjata, perhiasan, peti, lemari, meja, kursi, dan lain-lain. Pendeknya dilihatnya di dalam rumah raksasa itu komplit semuanya.
Anak-anak itu mengintip ke dalam rumah itu, siapakah gerangan orangnya rumah itu. Ternyata di dalam rumah tak ada orangnya. Kemudian anak-anak masuk ke dalam rumah itu. Di dalam rumah itu mereka melihat ada nasi di dalam belanga. Mereka makan nasi itu, lalu mereka bersembunyi di dalam gua di dekat rumah raksasa itu.
Tak lama kemudian datanglah Wangkinamboro, dan ia memeriksa keadaan rumahnya, dan ternyata nasinya sudah habis dimakan oleh kedua anak tadi. Raksasa itu pun dapat mengetahui bahwa yang memakan nasinya adalah kedua anak tadi. Dan ia juga tahu bahwa kedua anak itu sedang bersembunyi di dalam gua di dekat rumahnya. Raksasa iu marah dan ia bermaksud akan memakan mereka. Raksasa itu berkat dalam hatinya, “Tunggulah kamu sekalian, saya tahu kamu sedang bersembunyi di dalam gua. Nanti saya sudah makan baru saya memakanmu.”
Tetapi setelah raksasa itu selesai makan ia tidak sempat lagi turun ke gua untuk memakan anak-anak iu, karena ia sudah terlalu kenyang. Dan ia hanya berjanji nati lain kali ia akan memakan mereka. Sesudah raksasa itu makan, raksasa itu berkata dalam hatinya, “Saya akan memasak jagung. Kalau anak-anak itu akan makan lagi makanan saya ini barulah saya akan jadi memakan mereka. Setelah jagung yang dimasaknya masak, raksasa itu meninggalkan lagi rumahnya.
Kemudian kedua anak yang bersembunyi di dalam gua tadi naik kembali dan memeriksa raksasa tadi, ternayata ia sudah tidak ada lagi di dalam rumahnya. Anak-anak itu masuk lagi ke rumah raksasa dan mereka meliaht ada lagi makanan yang dimasaknya. Kedua anak tadi memakan lagi makanan raksasa tadi. Setelah mereka makan, sisanya mereka berikan racun dan mereka turun kembali bersembunyi ke dalam gua di dekat rumah raksasa tadi pula.
Tidak lama kemudian datanglah raksasa tadi, dan ia melihat makanan yang ditinggalkannya sudah tinggal seperduanya. Raksasa itu jadi marah lagi. Dalam pada itu kedua anak itu takut, dan yang adik Wa Ode Sirinakamba menangis. Tetapi kakaknya melarangnya agar ia jangan menangis karena akan bisa terdengar oleh raksasa tadi.
Lalu raksasa tadi memakan makanan yang telah beracun tadi. Kedua itu senantiasa tetap memperhatikan raksasa yang sedang makan. Tidak lama didengarnya raksasa itu sedang berbunyi-bunyi, entahlah ia sedang mengapa. Kedua anak itu menyangka bahwa raksasa itu sedang marah karena makannannya mereka sudah makan. Kedua anak itu takut.
Tetapi tidak lama kemudian bunyi-bunyi raksasa itu tidak kedengaran lagi. Kedua anak itu takut. Mereka menyangka bahwa raksasa itu sudah tertidur. La Ode Panuinta berkata pada adiknya, “Tunggulah engkau di sini saya naik dulu periksa itu.” Tetapi adiknya tidak mau, dan ia berkata pula pada kakaknya, “Biarlah saya naik denganmu. Kalau raksasa itu akan memakan kita, kita akan mati bersama-sama. Kalau engkau yang naik dan raksasa itu memakanmu maka tinggal saya seorang. Dan sama saja kalau engkau sudah mati, maka saya akan mati juga karena sudah tidak ada lagi yang membantu saya untuk berpikir.”
Maka naiklah kedua anak itu memeriksa raksasa tersebut. Ternyata raksasa itu sudah mati karena ia makan makanan yang beracun tadi.
Kedua anak itu berusaha akan membuang bangkai raksasa tetapi mereka tidak bisa mengangkatnya, karena amat berat. Maka dipotong-potonglah raksasa itu dan disimpan dalam peti yang dipaku ketat yang berlapis tujuh. Dan sesudah itu mereka simpan di muka pintu, dengan maksud apabila ada pencuri peti itu akan diangkat oleh pencuri. Kemudian mereka naik ke atas lantai dua dari rumah tersebut.
Tidak lama kemudian pada malam harinya datanglah empat puluh orang pencuri di dalam rumah itu hendak mencuri. Dilihatnyalah ada peti di muka pintu dan mereka terus mengambilnya dan dibawa lari. Komandan pencuri itu tinggal di belakang, menjaga jangan sampai raksasa tadi datang. Kedua anak itu mengintai pencuri-pencuri itu tetapi mereka hanya membiarkan saja.
Di tengah perjalanan komandan mereka berkata, “Kalau sebentar kita bagi harus bagi dengan adil. Kalau sudah berbeda walaupun sepatah jarum kita akan baku bunuh.” Di antara teman-teman pencuri itu, berkata, “Di sinilah kita bagi!” Komandan mereka berkata, “Jangan dulu, nanti di sana karena nanti kita didapat oleh raksasa itu.” Tibalah mereka di suatu tempa yang dianggap aman dan mereka membuka peti itu yang tebalnya tujuh lapis.
Pada saat mereka membuka lapisan ketujuh, tiba-tiba mereka melihat kepala raksasa itu dengan matanya yang menyala-nyala. Melihat itu semua pencuri kaget dan berlarian ke seluruh penjuru, dan mereka tak tahu diri sampai mereka menabrak phon-pohon kayu, dan mereka mati semuanya.
Setelah itu kedua anak tersebut turun ke bawah dan tinggallah mereka di rumah itu dengan tenteram. La Ode Pauinta pekerjaannya adalah berburu rusa, sedangkan Wa Ode Sirinakamba menenun kain.
Pada suatu waktu datanglah beberapa orang yang akan berburu, untuk persiapan perkawinannya Balamancugi. Pada saat itu Balamancugi ikut serta. Di waktu itu mereka menemukan suatu suara yang seolah-olah menyebut-nyebut nama daripada Balamancugi. Ternyata suara itu adalah bunyi tenunan Wa Ode Sirinakamba tersebut.
Maka Balamancugi menyuruh teman-temannya untuk pergi melihat, dengan alasan pura-pura minta minum. Ternyata di sana mereka melihat wanita yang sangat cantik yang sementara menenun dan bunyi tenunannya itu benar selalu menyebut nama Balamancugi. Tetapi begitu mereka mendengar suara Wa Ode Sirinakamba, orang-orang itu mati semuanya. Balamancugi pun datang melihatnya dan ketika ia mendengar suaranya ia pun mati juga.
Tidak lama kemudian datanglah kakaknya dari berburu dan dilihatnya ada orang sementara duduk di situ. Kemudian ia bertanya kepada adiknya, “Mengapa ia tidak memanggil masuk di dalam rumah?” Adiknya berkata, “Saya tidak tahu mereka hanya mendengar suaraku lalu mereka mati.” Tetapi kakaknya melihat orang-orang itu belum mati, lalu dipanggilnya masuk rumah.
Kemudian ia bertanya kepada Balamancugi, “Mengapakah kalian berada di sini?” Balamancugi menjawab, “Tadi saya mendengar tenunan adikmu menyebut nama saya, dan saya mencintainya, walaupun saya ini sudah akan dikawinkan.” Mendengar keterangan itu kemudian La Ode Panuinta menanya kepada adiknya, apakah ia setuju kawin dengan Balamancugi? Adiknya menjawab, “Terserah kepada engkau, kakak.” Akhirnya Balamancugi diterima karena memang kakaknya setuju padanya.
Kembalilah mereka ke kampung bersama Wa Ode Sirinakamba. Setelah mereka sampai di kampung, Balamancugi menyampaikan kepada orang-orang di kampung itu bahwa ia tidak mau kawin lagi dengan perempuan itu. Balamancugi berkata, “Saya akan kawin dengan Wa Ode Sirinakamba yang cantik.”
Sementara itu kedua anak yatim tadi mereka melihat orang yang sedang membelah kayu bakar, lalu mereka memanggilnya. Ditanyalah orang itu, “Apakah engkau tidak mempunyai anak, baru bekerja di sini?” Orang itu menjawab tidak ada. Kemudian mereka melihat lagi seorang perempuan yang sedang pergi mengambil air, lalu dipanggilnya. “Apkah engkau tidak mempunyai anak, baru mengambil air sendiri?” Sang ibu itu menjawab, “Saya punya ada anak, tetapi mereka dibuang oleh ayah tiri mereka.” Anak itu mengenal dan mengetahui bahwa laki-laki dan ibu yang mereka tanya tadi adalah orang tua mereka.
Kemudian kedua anak tadi menanya kembali ibu tersebut, “Apakah itu tidak mengenal lagi roman muka anakmu itu?” Ibu itu menjawab, “Kalau saya tidak salah sudah semacam kamu orang ini.” Kemudian anak-anak itu menjawab, “Sebenarnya kami inilah anakmu yang telah dibuang oleh ayah tiri kami di hutan dahulu.” Mendengar keterangan itu, lalu La Ode Panuinta menghela ayah tiri mereka dan menginjak-injaknya sampai mampus dan dimasukkannya di dalam kandang itu itik, sampai ia bermandikan lumpur kandang yang amat busuk. Sesudah itu mereka meninggalkannya sendirian, dan kedua anak itu bersama ibunya pergi.
Dan akhirnya pada suatu saat maka perkawinan antara Balamancugi dengan Wa Ode Sirinakamba dilangsungkan. Mulai saat itu ibunya gembira karena sudah ketemu lagi dengan anaknya.
Cerita ini dapat diambil dalam bentuk pdf yang ditulis dalam tiga bahasa.
BACA
CERITA
LAINNYA